4 Sanksi Sanksi Dalam Kuhp Terbagi Menjadi Dua Yaitu Dan

Pelanggaran UU ITE: Definisi, Contoh, dan Sanksi

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi sorotan publik setelah kasus viral pencuri coklat di Alfamart Sampora, Cisauk, Tangerang pada 13 Agustus 2022. Dalam peristiwa ini, seorang pegawai Alfamart yang memergoki pencuri coklat justru diancam dengan UU ITE dan dipaksa membuat video permintaan maaf. Kejadian ini melibatkan pengacara terkenal, Hotman Paris, yang bersedia membela Alfamart. Namun, sebelum membahas lebih jauh tentang perdebatan tersebut, mari kita pahami apa itu UU ITE, apa yang diatur di dalamnya, dan bagaimana sanksi yang dapat diberikan.

UU ITE, atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, merupakan peraturan hukum yang mengatur informasi dan transaksi elektronik di Indonesia. UU ini pertama kali disahkan melalui UU No. 11 Tahun 2008 dan kemudian mengalami revisi dengan UU No. 19 Tahun 2016. Secara sederhana, UU ITE mencakup regulasi terhadap penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik di Indonesia.

Berdasarkan UU ITE, informasi elektronik mencakup segala bentuk data elektronik, termasuk tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, surat elektronik, dan lain sebagainya. Sementara itu, transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Aturan ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang dapat merugikan kepentingan Indonesia.

Pembentukan UU ITE dilakukan untuk mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum, menjaga keamanan pemanfaatan teknologi informasi, dan mencegah penyalahgunaannya. Beberapa manfaat UU ITE antara lain:

Dampak Negatif UU ITE

Meskipun memiliki manfaat, UU ITE juga mendapat kritik dan menimbulkan dampak negatif, seperti:

UU ITE, meskipun bertujuan memberikan dasar hukum bagi penggunaan teknologi informasi, tetap kontroversial dan memicu berbagai perdebatan. Perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan penanganan kasus yang adil menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan antara melindungi masyarakat dan mencegah penyalahgunaan UU ITE. Revisi dan perbaikan terus menerus diperlukan agar UU ITE dapat menjadi instrumen hukum yang efektif tanpa merugikan kebebasan masyarakat.

%PDF-1.7 %µµµµ 1 0 obj <>/Metadata 280 0 R/ViewerPreferences 281 0 R>> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <>/ExtGState<>/XObject<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/Annots[ 18 0 R 36 0 R] /MediaBox[ 0 0 595.32 841.92] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 0>> endobj 4 0 obj <> stream xœ½=Ù’Û6¶ï®ò?°æIšêf ’)WWµ·ØYßعó�Ì»EK´Ô’F¢œtÕýø‹s6’`[Ž¨™š´)ξ¯nvMý©¼k‚gÏ®nš¦¼[T³à÷«ç›¦ÙÜÿûêãöºz_ÎëuÙÔ›õÕ‡ÃmM¯7›¦Ú]_Ï_¾þóôIFð¿<ÏXi‘†<ò„…E쪧OþõÏ`ýôÉó�OŸ\½fA|üôô ôŒ$9YÀó0‰“àã½ìòý‡,˜ïå¨Áåê×÷OŸ0“>Þý>a©˜þ;øøÃÓ'¯ä¸ÿóôÉ©pY˜œ§ý}ü͹þ£†I²,Œã€§a%‹$�"0Š{ú'Ž+ÿ¼úi*D($ YTH€&x˜Ç�ˆÂ4Jœñƒ«Ûr ìûùÅÛ—AtõS¹ž“j}ùÛ‡©eÐqƒa$¡lviÇi¥AKìŽ Í·ÍVt¦a~äTµb.iJ� Ä’q&E+ŒÅ#ÔbÔ:n0‚ŸEXˆ6 ’Ë€BZ„y_’~˜^¦“Ãn=å“rzOVÁ4�¼‡Æ]5M&Ÿ¦—,�À•üy™MÖûºGßáãò9Άàë³óäé’G¦{#±?,§—Åä 1�&÷§ÍÏ<óKùcÅÐüÿ7½ä“àí€àûée2ùNBÄ@ûLr!�‹¾¥9¦$ŽÀÀt9þt<,’¡éR‰fhryQŒ>w’†Y~¤´¡:w´4AK=pi-M2°N]¸þ$a³ G—Æ8MC18m<út‚¡åöOw Î½“|ßHT¥ 0yyΉˆ" £l ˆgQôœ]��v!]ÏÐŒ'"è31QÊ0``º×Õí¬ÌAÒ¶¹ÚÕãC�Ähä†ÄJi8š5àñEð†¼�fûØðb�åÄå,Ç(ÎÄ�jo¢,Œâ!JŒoZY$ƒ�¡éy þè&] I÷ÏK^íFjw2ù¢Å®^á?·« þ 6kycUÃß »ãݤb|«§Œ­ü'뻘ªiñÏvÿ�ü}áŸ?*û'¬>o¦—9*Ón]®Â?!t"µº—ø ºžUæ ü¢´ßÉ +¬gWõz†(ÿnÒÛo¯FçŽ4»~tƒK)ýIž¡ô>Œ?q�ÞÖKèíQ¢ ïdž �8äQ~üîþ½ñõ\¹wÏð8™„%QÈ›tÉ+$ç�dÕÇ饪_Þ‚xaäøõ€&=�2Ê È0b²�$[žË¿Yš»¹·ù×#ôp¶©CŒ6»ùèúbXýwaGCI€Ãì8¼˜^‚ñ-¢ðt]â#ª!8>¸2x$äð†úAº‘bÓèQ1ÔN@x|G–Æè7Oc�Ç×ùT@Œ ©Ìì:¶OÒThé@éàÊTÀž”�j0,ãGŠ ÙWPzt,S²<ò¨{Ýë;À ºúõxô�¦8“Cü Š3P�2†Õ@Œ=t­ª×¥àºÄ÷YÑîáãz>@¢o)Ûñ ég¡��¦ŒÀ�^›Y£À#]’PœJ‘!kôAú‰i�Þýæ~½•ÿò¿÷h“à×Ë›wØâ3yññtýlשXðôË›÷Áûù[oÐãàñä<öóôR`³™î{îÔàòæß-eà›HÊDZß÷ö_~ébÿþ·~£�`Ž“ðdY 2jç€õ¦ER!l Úo@Ï�7Ó H°_Þ}|õ.øá·—o¡é—w?)¨ß½›|'õÁ

UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) menjadi hal yang perlu diperhatikan oleh pengguna ruang digital. Adapun wadah digital tersebut mencakup sejumlah transaksi sampai media informasi (termasuk sosial media).

Lantas, apa itu UU ITE? Artikel ini membahas apa itu UU ITE, dasar hukum UU ITE, apa saja manfaat dari UU ITE, contoh kasus pelanggaran UU ITE dan sanksinya, apa saja hukuman bagi pelanggar UU ITE, serta apa saja contoh kasus pelanggaran UU ITE di Indonesia.

UU ITE merupakan kepanjangan dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Peraturan tersebut didefinisikan sebagai undang-undang yang mengatur sejumlah kegiatan informasi dan transaksi elektronik di dunia digital.

Sejumlah aturan yang tertulis di dalam UU ITE bertujuan untuk mengawasi dan melindungi aktivitas di internet. Lebih rincinya menjaga ruang digital agar bisa sehat, bersih, produktif, dan taat terhadap etika tertentu.

Bersih dan sehat yang dimaksud dalam ruang lingkup UU ITE juga mencakup berbagai landasan hukum penggunaan teknologi. Dengan begitu, tindakan kejahatan online atau cyber crime bisa mempunyai dasar aturan yang sah.

Dasar hukum UU ITE dideskripsikan melalui asas dan tujuan pembentukannya, diatur melalui Pasal 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Secara garis besar agar bisa memanfaatkan teknologi ITE sesuai asas kepastian hukum, kehati-hatian, manfaat, netral teknologi, dan itikad baik.

Adapun UU ITE yang pertama kali dibentuk pada 2008 tersebut telah mengalami dua kali perubahan. Pertama, diubah lewat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Perubahan ini dikhususkan bagi Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 Ayat (2), dan Pasal 31 Ayat (3).

Sedangkan perubahan kedua UU ITE dapat dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024, yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 2024. Ketentuan perubahan kedua UU ITE tersebut mengatur mengenai penyelenggara sertifikasi elektronik, kontrak elektronik internasional, serta perubahan terhadap ketentuan sanksi pidana yang sebelumnya diatur dalam ketentuan Pasal 45, Pasal 45A, dan Pasal 45B UU ITE. Selain itu peraturan tersebut juga mengatur mengenai alat bukti elektronik, sertifikasi elektronik, perbuatan yang dilarang, dan sebagainya.

Selain UU ITE yang telah diubah dua kali, terdapat pula Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Aturan itu melingkupi penggunaan sistem elektronik dan transaksi di dunia digital.

Apa Saja Hukuman bagi Pelanggar UU ITE?

Pelanggar UU ITE bisa mendapatkan hukuman pidana penjara dan/atau denda tertentu, sesuai kasus yang telah dilanggarnya. Sebut misalnya pelanggar Pasal 27 angka 2 UU ITE dapat dikenakan pidana penjara maksimal 6 tahun dan didenda paling besar satu miliar rupiah. Sedangkan pelaku pencemaran nama baik dengan menggunakan media elektronik dapat dikenakan pidana penjara maksimal 2 tahun dan didenda paling besar empat ratus juta rupiah. Berdasarkan ketentuan Pasal 45 angka 3 UU No. 1 Tahun 2004, maka pelaku judi online dapat dikenakan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau denda paling banyak sepuluh miliar rupiah.

Pelaku penyebar informasi yang memuat asusila akan dikenakan  pidana penjara selama enam tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.Pidana serupa juga dijatuhkan bagi para penyebar hoax dan pengujar kebencian di tanah air. Sedangkan ketentuan Pasal 45B UU ITE mengenakan pidana penjara selama empat tahun dan/ atau denda paling banyak tujuh ratus lima puluh juta rupiah bagi pihak yang mengancam dengan media elektronik.

Hukum Positif Indonesia-

Indonesia sebagai negara hukum jelas melarang segala macam bentuk perjudian, hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 303 KUHP.

Dalam uraian ini disampaikan mengenai:

Penulis menyampaikan pengertian perjudian berdasarkan 2 kategori, yaitu:

Perjudian mempunyai kata dasar ‘judi’ yang ditambahkan awalan ‘Per’ dan akhiran ‘an’, dimana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online mempunyai maknasebagai berikut:

Berdasarkan makna kata tersebut di atas dapat didefinsikan perjudian adalah segala kegiatan yang mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada julah uang atau harta semula.

Pengertian perjudian menurut undang-undang tentunya merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 303 ayat (3) KUHP yang menyatakan bahwa, “yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya”.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat didefinisikan bahwa yang dimaksud dengan perjudian atau permainan judi adalah setiap permainan yang kemungkinan mendapatkan keuntungan bergantung pada peruntungan belaka dan pemainnya menjadi lebih terlatih dan lebih mahir untuk permainan tersebut, termasuk kegiatan taruhan berkenaan dengan keputusan perlombaan atau pertandingan dimana para peserta taruhan tidak ikut dalam perlombaan atau pertandingan tersebut.

Perbuatan Lain yang Dilarang UU ITE

Selain itu, UU ITE juga melarang beberapa perbuatan lain seperti akses ilegal terhadap sistem elektronik, intersepsi atau penyadapan, perubahan, merusak, dan pemalsuan dokumen elektronik.

Pengancaman dan Pemerasan

Pasal 27 Ayat (4) UU ITE menjabarkan tentang tindakan pengancaman dan pemerasan melalui teknologi informasi. Seseorang yang melakukan kedua aktivitas tersebut di ruang digital bisa mendapatkan konsekuensi hukum.

Pasal 28 Ayat (2) UU ITE mengatur larangan terhadap penyebaran ujian kebencian. Adapun secara spesifik mengacu kepada ujaran yang menimbulkan perselisihan berdasarkan unsur SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

Pasal 29 UU Nomor 11 Tahun 2008 mengatur tentang pelanggaran kegiatan teror atau menakut-nakuti orang lain lewat internet. Kejahatan siber ini bisa dilaporkan ke pihak berwenang, kemudian ditindaklanjuti secara hukum.

Berita bohong, kerap disebut hoax, diatur lewat UU ITE Pasal 28 Ayat (1). Informasi yang menyesatkan ini berpotensi mengarahkan seseorang ke sudut pandang yang salah dan menimbulkan kerugian jika diakses konsumen (ketika ada transaksi).

UU ITE Pasal 31 menyebutkan kasus pelanggaran yang termasuk tindakan penyadapan. Di mana seseorang secara sengaja dan bukan haknya menyadap informasi atau dokumen elektronik milik individu lain.

Apa Saja Manfaat dari UU ITE?

UU ITE mengatur berbagai hal agar pengguna teknologi informasi dan transaksi elektronik bisa mendapatkan kepastian hukum. Dengan begitu, manfaat UU ITE yang paling utama adalah memberikan perlindungan hukum bagi pengguna ruang digital.

Kepastian hukum dari UU ITE ini bermanfaat untuk meningkatkan rasa kepercayaan para pengguna teknologi. Setiap orang pun akhirnya bisa mengakses teknologi tersebut tanpa harus resah terhadap keamanan, misalnya dalam transaksi elektronik.

Berhubungan dengan itu, UU ITE juga bermanfaat untuk mencegah berbagai kejahatan siber (cybercrime). Sejumlah aturan UU ITE mengatur tentang hal tersebut, misalnya tindakan penyadapan, penipuan, dan lain-lain.

Pencemaran nama baik

Pencemaran nama baik dalam UU ITE diatur melalui Pasal 27 A UU No. 1 Tahun 2004, yang berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”

Pelanggaran UU ITE dan Sanksi

Meskipun UU ITE memiliki tujuan positif, beberapa pasal di dalamnya memiliki dampak kontroversial. Beberapa pelanggaran UU ITE dan sanksinya termasuk:

Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan video atau informasi yang melanggar kesusilaan dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.

Melakukan perjudian online dapat mengakibatkan sanksi pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.

Pencemaran nama baik dapat berujung pada pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00.

Pelaku pemerasan dan pengancaman dengan menggunakan media elektronik dapat dikenai pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.

Menyebarkan berita bohong yang merugikan konsumen dapat mengakibatkan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.

Menyebarluaskan informasi dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA dapat dikenai pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.

Mengirimkan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti melalui media elektronik dapat berujung pada pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00.

Contoh Kasus Pelanggaran UU ITE di Indonesia

Salah satu contoh kasus pelanggaran UU ITE di Indonesia pernah terjadi baru-baru ini di Kalimantan Timur. Sebagaimana dilansir Antaranews, ada perempuan yang melanggar UU ITE terkait pornografi (melanggar kesusilaan).

Perempuan itu diamankan oleh pihak kepolisian pada 4 Maret lalu, satu hari pasca penyelidikan. Adapun contoh kasus pelanggaran UU ITE ini terjadi karena tersangka menjual foto yang bermuatan pornografi lewat akun Instagram.

Seseorang berinisial YRT ini kemungkinan terjerat pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) UU RI No. 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU RI No. 11 Tahun 2008. Ada ancaman hukuman pidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda 6 miliar rupiah.

Apa itu UU ITE sudah dapat kita pantau sebagai aturan yang menjaga keamanan dunia digital di Indonesia agar lebih bersifat positif. Berbagai ketentuan yang diatur melalui UU ITE ditujukan demi kepercayaan pengguna teknologi.

Adapun contoh kasus pelanggaran UU ITE bisa dipantau lewat ujaran kebencian, penyadapan, judi online, penyebaran berita bohong, dan lain-lain. Manfaat UU ITE sebagai cyber law adalah memastikan kepastian hukumnya.

Pelanggaran UU ITE bisa menyebabkan seseorang terkena dampak negatif, sementara pelaku memperoleh hukuman tertentu. Oleh sebab itu, kita sebagai warga negara sebaiknya lebih bijak dalam pemanfaatan teknologi.

Ronaldo Heinrich Herman, S.H., M.H., C.Me, adalah seorang ahli hukum yang memiliki latar belakang akademik kuat di bidang hukum perdata, bisnis, dan socio-legal. Lulusan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ronaldo menyelesaikan program sarjana, magister, dan sedang menempuh pendidikan doktor dengan fokus pada perbandingan hukum. Dengan keahlian di bidang hukum perdata dan penelitian hukum, ia menggabungkan wawasan akademis dan praktis untuk memberikan analisis mendalam dalam setiap tulisannya.

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Simak aturan razia kendaraan terbaru 2024 lengkap sanksi dan denda, kini kendaraan mati pajak bakal langsung kena tilang.

Dalam aturan terbaru, setiap pemilik kendaraan wajib membayar pajak setiap tahun.

Nah, untuk saat ini kendaraan yang telat ataupun menunggak pajak apabila terjaring razia akan ada sanksi dan denda meski STNK dan Pelat kendaraan masih berlaku.

Setiap pemilik kendaraan bermotor wajib membayarkan pajak tahunan tepat waktu agar tidak dikenakan denda.

Namun, ada kalanya sebagian orang lupa membayarkan pajak kendaraan tahunan atau terpaksa belum bisa membayar, karena halangan tertentu, seperti masalah ekonomi.

• Dilarang Nunggak! Aturan Bayar Pajak Kendaraan Bermotor Dipermudah Per Agustus 2024, Begini Caranya

Selain harus melunasi denda, tak jarang pengendara yang telat bayar pajak juga bisa diberhentikan oleh polisi saat ada razia dan dikenakan tilang.

Namun, jika pengendara membawa dokumen kendaraan lengkap dan masih berlaku, seperti Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) akankah tetap kena tilang?

Simak penjelasan Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) soal penilangan pemilik kendaraan yang telat bayar pajak, tapi STNK masih berlaku.

Kanit Regident Satlantas Polresta Surakarta, AKP Yuli mengatakan, pengendara yang telat membayar pajak, tapi STNK-nya masih berlaku akan dikenai tilang.

Sebab, meski belum mati, STNK bisa menjadi tidak sah ketika belum membayar pajak.

"Selama kendaraan masih dipakai tiap tahun harus dipajaki, karena membayar pajak adalah kewajiban dan polisi bisa melakukan penilangan, karna STNK setiap tahun harus disahkan saat membayar pajak" jelas Yuli, Rabu 14 Agustus 2024.

Senada dengan Yuli, Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Dirlantas Polda DIY), Kombes Pol Aldian Nurrizal menerangkan, penilangan tersebut dilakukan sesuai dasar hukum yang berlaku.

Aturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UU LLAJ) dan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor.

Dalam Pasal 70 ayat 2 UU LLAJ, STNK dan Tanda Nomor Kendaran Bermotor (TNKB) berlaku selama lima tahun dan harus dimintakan pengesahan setiap tahunnya.